Asal-usul orang Banjar - Jelmakham a
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Asal-usul orang Banjar


Asal-usul orang Banjar dari Mahasin/Mo-he-xin/Segaramasin (pra Tumasik) menurut Naskah Wangsakerta Cirebon. Menurut naskah itu kerajaan Pali pindah ke pulau Bali (dinasti Warmadewa) dan kerajaan Mahasin pindah ke Kalimantan Selatan.

Inilah Pustaka Kerajaan-kerajaan di Bumi Nusantara (iti Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara) Bab 3 Bagian 2 (tritiya sargah ri dwitiya parwa)



/Halaman 162/ … Kemudian menurut kisah yang lain lagi, yaitu mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra (swarnadwipa), pada patangatus-rwalikur-ikang-çakakāla (422 S ~ 500 M), di bumi Sumatra terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Pali (rājya pali) yang terletak di Sumatra-(swarnabhumi)-bagian-utara dan tengah-bagian-utara. Kedua adalah Kerajaan Melayu, yang disebut juga Sriboja (rājya malayu sinebut juga çriboja), berada di Sumatra-bagian-selatan dan tengah-bagian-selatan.

Di Sumatra-bagian-utara yang termasuk /163/ kekuasaan Kerajaan Pali, di situ terdapat beberapa kerajaan kecil yang tunduk dan mengabdi kepada kekuasaan Maharaja Pali (kawaçaning mahārāja pali). Beberapa kerajaan diantaranya adalah Kerajaan Indrapuri (rājya indrapuri), Kerajaan Indrapurwa (rājya indrapurwa), Kerajaan Indrapatra (rājya indrapatra), Kerajaan Kendari (rājya kandhari) dan banyak lagi yang lain. Begitu pula negeri-negeri (déça mandala) Parlak, Paséh, Samudra, Nago, Barus, Pagay, Lamuri, Haru, Tamyang, dan banyak lagi yang lainnya. Keseluruhan jumlah negeri-negeri tersebut adalah kira-kira seratus empat puluh negeri di bawah Kerajaan Pali di Bumi Sumatra.

/164/ Di wilayah kerajaan [Pali, sebagian besar] rakyatnya memeluk agama Budha (budhayana) tetapi di beberapa wilayah seperti: Pagay, Lamuri, Haru, dan Tamyang, mereka memuja nenek-moyang (pitrepuja), memuja gunung (parwatapuja), memuja api (agnipuja), memuja sungai (lwahpuja), memuja matahari (suryapuja), memuja bulan (candrapuja), memuja batu (watupuja), memuja pepohonan (sdhāwarapuja), memuja langit (akaçapuja), dan banyak lagi yang mereka sembah.

Masyarakat yang menganut ajaran nenek-moyang tersebut [umumnya] tidak berpakaian, dan mereka juga gemar memakan orang sesamanya (mangan mwang samanya), serta meminum darah manusia dan binatang (anginum rāh manusa mwang satwa). Di samping itu ada juga yang /165/ berpakaian daun-daunan, atau bercawat dari kulit binatang. Juga ada yang berpakaian serat kulit kayu. Di antara mereka banyak yang tinggal di hutan, mereka bersembunyi dan berpencar-pencar.

Itulah sebabnya warga masyarakat yang tinggal di wilayah Pagay, Lamuri, Haru, dan Tamyang, tidak mengenal agama Budha, tidak seperti negeri lainnya.

Pada patangatus-patang-puluh ikang çakakāla (440 S ~ 518 M) Kerajaan Pali mengikat persahabatan dengan kerajaan Cina (rājya cina). Selanjutnya pada patangatus-patang-puluh-lima ikang çakakāla (445 S ~ 523 M) Kerajaan Pali mengutus seorang duta ke /166/ Kerajaan Cina. Sebagai sahabat, Raja Pali mendapat bingkisan berbagai barang hasil bumi dan hasil kerajinan tangan.

Adapun di Sumatra-bagian-selatan dan tengah-bagian-selatan, adalah kekuasaan Kerajaan Sriboja atau Negara Melayu (kacakrawartyan ing rājya çriboja athawa malayu nagara), yang terletak di Palembang (hanéng palémbang).

Di wilayah [Melayu] terdapat lebih dari seratus negeri besar dan kecil. Beberapa ada yang cukup besar, namun semuanya tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Melayu (séwaka ring rājya melayu) yaitu Kerajaan Sriwijaya (rājya çriwijaya) di Jambi wilayahnya (i jambi mandalanira), Kerajaan Tulangbawang (rājya tulangbawang), /167/ Kerajaan Siak (rājya syak), kemudian Rekan, Kampay, Pane, Bangka, Balitung, Nias (nayas), Tanjungkidul, dan banyak lagi yang lainnya.

Pada [patangatus]-telung-puluh-sanga ikang çakakāla (439 S – 517 M) Kerajaan Melayu mengikat persahabatan dengan Kerajaan Cina.

Adapun warga masyarakat Kerajaan Melayu memeluk agama Budha.

Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Bumi Nusantara saling bersahabat (silih amitra). Demikian pula Kerajaan Melayu bersahabat dengan Kerajaan Tarumanagara (rājya tarumanagara). Kerajaan Pali, Kerajaan Bakulapura (Borneo – Kalimantan?), Kerajaan Cina, Kerajaan Keling (Jawa Tengah?), dan hampir semua kerajaan di Bumi Nusantara (bhumi nusāntara), serta negeri /168/ yang lain di luar Nusantara (sabrang nusāntara).

Pada limangatus-sangang-puluh-rwa ikang çakakāla (592 S – 670 M), Kerajaan Sriwijaya berkembang menjadi [sebuah] kerajaan besar dengan balatentara yang berani dan kuat. Sebagian wilayah Kerajaan Melayu direbut oleh pasukan perang Kerajaan Sriwijaya. Sebelumnya, yaitu pada limangatus-sangang-puluh-wwalu ikang çakakāla (598 S – 676 M) Kerajaan Pali diserbu, oleh angkatan bersenjata Sriwijaya. [Saat itu] terjadi pertempuran desak-mendesak antara angkatan bersenjata Kerajaaan Pali dengan angkatan bersenjata Sriwijaya.

Adalah /169/ Kerajaan Kendari (rājya kandharī) yang telah menjadi negeri merdeka sejak patangatus-wwalung-puluh-lima ikang çakakāla (485 S – 563 M) dan juga mengikat persahabatan dengan Kerajaan Cina, ikut serta berperang melawan Kerajaan Sriwijaya, tetapi Kerajaan Kendari dapat dikalahkan, dan negaranya dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya.

Pada akhirnya kalahlah semua kerajaan yang ada di Sumatra bagian utara.

Oleh karena itu, angkatan bersenjata kerajaan Pali dan kerajaan-kerajaan taklukannya pergi ke pengungsian. Begitu juga warga masyarakat dan para pembesar (mantri-mantri) /170/ ahli nujum (pranaraja), para pendeta (sang dwija), para pemuka (sang pinakadi), mengungsi menuju ke arah selatan dengan menggunakan berbagai perahu besar maupun kecil; banyaknya beberapa ratus buah.

Ada yang menuju Pulau Jawa, yaitu berhenti dan menetap di kerajaan Indraprahasta (rājya indraprahasta; sejaman dengan Tarumanagara, di lereng timur gunung Ciremay), ada yang berhenti kemudian berdiam di wilayah Bakulapura, ada juga yang berhenti kemudian berdiam di Semenanjung (hujung mendini), Mahasin, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan banyak lagi.

[Satu] kesatuan angkatan bersenjata Kerajaan Pali, lengkap dengan berbagai perlengkapan kerajaannya, berlabuh dan bermukim /171/ di Pulau Lembu (nusa ghoh). Selanjutnya [mereka] mendirikan sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Pali, atau kemudian disebut Kerajaan Bali (athawa neher sinebut rājya bali).

Begitu juga Kerajaan Mahasin (rājya mahasin), di Semenanjung (i nusa hujung mendini), juga diserbu oleh angkatan bersenjata Sriwijaya. Terjadilah pertempuran, saling beradu [nyawa, namun] akhirnya angkatan bersenjata Kerajaan Mahasin pun dikalahkan.

Sisa-sisa pasukan [Mahasin], semuanya mengungsi dengan menaiki beberapa puluh perahu besar maupun kecil menuju arah selatan. Kemudian mereka berhenti dan bermukin di negeri Banjar yang berada di Bumi /172/ Tanjungpura (banjar mandala i bhumi tanjungpura), yaitu Kalimantan-bagian-selatan (bakulapura bangkidul). Di sana mereka mendirikan kerajaan di negeri Banjar (madeg rājya i banjar déça), dan selanjutnya kerajaan itu disebut Kerajaan Banjarmasin (rājya banjarmahasin).

Adapun [lokasi] Kerajaan Mahasin [sebelumnya], wilayahnya di kemudian hari disebut Tumasik yang terletak di Semenanjung (tumasik i nusa hujung mendini).

Pada nemang-atus-punjul-pat ikang çakakāla (604 S – 682 M), angkatan bersenjata Sriwijaya di bawah pimpinan sang raja yaitu Dapunta Hyang Sri Jayanasa (dapunta hyang çri jayanasa), kembali ke selatan [dari Semenanjung], [yaitu] Manangkabwa. Dari Manangkabwa kemudian pada nemang-atus-punjul-lima ikang çakakāla /173/ (605 – 683 M), angkatan bersenjata Sriwijaya di bawah pimpinan rajanya, yaitu Dapunta Hyang, menyerbu separuh [sisa] Kerajaan Melayu, yang belum dapat dikalahkan. Angkatan bersenjata Sriwijaya yang berjumlah dua-puluh ribu (rwang laksa) orang mengalahkan Kerajaan Melayu secara keseluruhan (siddha paripurnā ngalahaken rājya melayu).

Sisa-sisa angkatan bersenjata Melayu [ada yang] mengungsi ke Kerajaan Sunda di bumi Jawa Barat (rājya sunda i bhumi jawa kulwan).

Kerajaan Melayu yang berada di Palembang sudah ditundukkan oleh Kerajaan Sriwijaya pada nem-angatus-punjul-nem ikang çakakāla (606 S – 684 M) [dimana] Sri Jayanasa mendirikan tanda peringatan (çri jayanasa magaway cétya) /174/ berupa prasasti di Sri Ksetra (praçasti hanéng çri kçétra) bersama para pengikutnya, dengan harapan tidak ada lagi perlawanan dan sejahteralah semua masyarakat: [baik] rendah, menengah, atau utama (wasthā kabéh janapada: kanista madhya mottama), di bawah kekuasaan negara (ng siniwi nagara).

[Untuk memperingati kemenangan di Palembang] Maharaja Sriwijaya mengadakan upacara (magaway sangskārāgama) dan memberikan anugrah (malakwaken dana) kepada kepala agama Budha (dharmadhyaksa ring kasogatan) yaitu Guru Besar Sakyakirti (dang acāryya çakyakirti). Tujuan sang raja adalah agar harta itu digunakan untuk membuat wihara dan keperluan lainnya.

Pada waktu itu, hadir sekalian raja taklukan [dari seluruh] Sumatra, serta semua pemimpin wilayah /175/ dari negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan Maharaja Sriwijaya (séwaka mahāraja çriwijaya), yaitu: pemuka kaum (sang pinakadi), ahli nujum (sang pranaraja), pembesar kerajaan (mantri raja), perwira angkatan bersenjata (sang tanda), panglima angkatan bersenjata (sang baladika wadyabala), panglima angkatan laut (sénapati sarwajala), duta-duta dari negara sahabat, kepala agama Buddha (dang acāryyāgama budhayāna), kepala agama Nirwana (dang acāryyāgama nirwānayāna), pendeta (dwija), para sanggha: biksu, biksuni, upasaka, dan upasika. Begitu juga beberapa ribu angkatan bersenjata Sriwijaya dan sejumlah warga masyarakat.

Kerajaan Sriwijaya menguasai seluruh Pulau Sumatra (wus nyakrawarti rat swarnabhumi) pada nem-angatus-telu-welas ikang çakakāla /176/ (613 S – 691 M), sebagai maharaja dimana semua raja-raja di Pulau Sumatra telah takluk dan berada di bawah kuasa Sriwijaya (ri séwaka ring çriwijaya).

Dengan Kerajaan Sunda, Kerajaan Sriwijaya telah membuat perjanjian, keduanya tidak akan saling menyerang negara masing-masing, dan bekerja sama dalam persahabatan. Oleh karena itu duta Sriwijaya berada di Kerajaan Sunda dan duta Kerajaan Sunda berada di Kerajaan Sriwijaya. [Lalu dibuat] Piagam perjanjian yang ditulis bersama pada tanggal 14, paro-terang, bulan Magha (ing catur daça çuklapaksa, māghamasa) /177/ nem-angatus-punjul-pitu ikang çakakāla (607 S – 685 M) oleh keduanya, antara Sri Maharaja Jayanasa, Raja Kerajaan Sriwijaya dari Pulau Sumatra, dan Sri Maharaja Tarusbawa, Raja Kerajaan Sunda dari Jawa Barat di Pulau Jawa.