Arab Islam ~ Budha ~ Hindu pada era Sriwijaya - Jelmakham a
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Arab Islam ~ Budha ~ Hindu pada era Sriwijaya


Arab Islam ~Budha ~Hindu pada era Sriwijaya

Asimilasi Kultural Arab-Melayu Palembang

Oleh:

Apriana

Pendahuluan

Palembang yang merupakan ibu kota Kerajaan Sriwijaya tercatat sebagai tempat bertemunya beberapa peradaban besar dunia dalam perspektif sejarah berdirinya sebuah kota dalam pengertian sosial politik, ekonomi maupun budaya. Sriwijaya pada zamanya merupakan pusat perdagangan dan pelayaran Internasional. Palembang menjadi bandar terpenting bagi perdagangan dan pelayaran Indonesia bagian barat yang menghubungkan dua kawasan penting Asia, yakni Cina, India, dan Arab. Bahkan, Palembang merupakan salah satu bandar terpenting bagi terbentuknya komunitas yang berciri kosmopolitan, yakni pada periode kerajaan maritim Sriwijaya dan pada masa Kesultanan Islam Palembang Darussalam (Mestika Zed, 2003: 4).

Sejak abad ke VII M, menurut data sejarah menyebutkan bahwa kelompok etnis Arab sudah ada di Palembang. Dalam sumber Arab disebutkan bahwa kelompok etnis ini singgah di Palembang sebelum melanjutkan perjalanannya ke Cina. Artinya, Palembang merupakan kota transit bagi etnis Arab sebelum melanjutkan perjanannya ke wilayah Cina. (Retno Purwanti, tt.:4)

Raja Sriwijaya kedua Sri Indrawarman pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz Dinasty Bani Umayyah pada abad ke 7 M, yang isi surat tersebut meminta mubaligh untuk ke Sriwijaya, Sri Indrawarman akhirnya memeluk Islam dan karena kurang diterima di lingkungan Kerajaan Beliau akhirnya hijrah ke Bengkulu dan wafat disana (tambahan pen.)

Kehadiran muslim Timur Tengah, kebanyakan Arab dan Persia di Nusantara termasuk Palembang pada masa-masa awal ini pertama kali dikemukakan oleh agamawan sekaligus pengembara Cina yang bernama I-Tsing, ketika ia pada 51H/671M, dengan menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton berlabuh di pelabuhan di muara sungai Bhoga (atau Sribhoga, atau Sribuza, sekarang Musi). Sribuza sebagaimana diketahui, telah diidentifikasi banyak sarjana modern adalah Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya. (Retno Purwanti, tt.:23)

Kerajaan Sribuza atau Sriwijaya (atau sering juga diidentikkan dengan Zabai, atau yang disebut sumber-sumber Arab sebagai Al-Mamlakat al-Maharaja (“Kerajaan Raja di Raja”), atau dikenal Shih-li-fo dalam sumber-sumber Cina, mulai menanjak pada paruh kedua abad ke-7 yang kekuasaanya malang melintang hampir di seluruh Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa sampai lima abad kemudian. Dalam kebanyakan periode ini, kerajaan Sriwijaya memainkan peranan penting sebagai perantara dalam perdagangan Timur Jauh dan Timur Tengah. Sriwijaya bahkan mendominasi perdagangan Nusantara dan Palembang sebagai ibukota Kerajaan Sriwijaya menjadi entropet terpenting di kawasan ini (Azyumardi Azra,1994: 24).

Sriwijaya yang berpusat di Palembang, walaupun terkenal sebagai pusat terkemuka keilmuan Budha, ia merupakan kerajaan yang kosmopolitan. Hal tersebut dapat dibuktikan, ketika I-Tsing menuju pelabuhan Sriwijaya ia menumpang kapal Arab dan Persia. Menurut Yuantchao, dalam Tcheng-yȕan-sin-ting-che-kiao-mou-lou yang ditulis awal abad ke-9 sebagaimana dikutip oleh Azra (1994:24) mengemukakan bahwa pada 99H/717H sekitar 35 kapal Persia sampai di Palembang. Seusai kerusuhan di Kanton, banyak Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton, kemudian menuju Palembang untuk menemukan wilayah perlindungan yang aman.

Keberadaan penduduk pribumi Muslim dalam kerajaan Sriwijaya menunjukkan bahwa proses islamisasi sebenarnya telah dimulai, meskipun masih terbatas di kalangan kecil masyarakat. Akan tetapi tampaknya selama lima abad setelah kedatangan awal tersebut Islam belum berkembang secara signifikan dan massif di Palembang. Hal senada dikatakan oleh Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto (2010:44-45). Mereka mengatakan bahwa kemungkinan para pedagang muslim Arab dan Persi (Iran) bahkan dari negeri-negeri lainnya di Timur Tengah, belum dapat dikatakan di daerah Palembang yang dianggap sebagai pusat kerajaan Sriwijaya telah terjadi islamisasi secara besar-besaran mengingat kerajaan Sriwijaya yang bercorak Budhis pada waktu itu kekuasaan politiknya masih kuat pada saat itu.

Baru sejak kerajaan tersebut mengalami kelemahan bahkan runtuh pada sekitar abad ke-14 M mulailah islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 M muncul komunitas muslim di Palembang. Sampai abad ke-16 M proses islamisasi di Palembang nampaknya masih belum menonjol, meskipun Pemerintahan Palembang telah berada di bawah kekuasaan Islam Jawa. Agaknya proses Islamisasi mulai berkembang pada akhir abad ke-17 M setelah Kesultanan Palembang berdiri secara independen.

Dari segi politis bila ditinjau secara historis, kedudukan orang Arab lebih tinggi dibanding dengan kelompok-kelompok pendatang lainnya di Palembang. Terlebih pasca keruntuhan kerajaan Sriwijaya pada sekitar abad ke-14 M berganti dengan masa Kesultanan Palembang (K.H.O. Gadjahnata, 1986:57). Orang Arab diperbolehkan tinggal diantara penduduk. Mereka pada umumnya adalah pedagang, biasanya mereka tinggal dekat dengan pasar dan tinggal berkelompok. Pedagang Arab diizinkan tinggal di darat bercampur dengan penduduk. Pedagang-pedagang muslim ini selain berdagang juga sambil menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat dan tidak sedikit di antara orang-orang Arab itu mempunyai peranan penting di dalam istana raja dan tidak kurang pula di antara mereka yang menjabat jabatan penting dalam kerajaan, seperti jabatan syahbandar yang pada umumnya terdiri dari orang Arab dan orang asing lainnya (J.C. van Leur, 1995:186).

Di lingkungan keraton Kesultanan Palembang, orang Arab juga mendapat perlakuan khusus terutama yang baru datang dari Hadramaut. Orang-orang Arab yang berasal dari Hadramaut datang ke Indonesia termasuk Palembang diperkirakan terjadi sejak pertengahan abad ke-13, dan kebanyakan dari mereka semuanya pria. Kelompok etnis ini pada awalnya merupakan pedagang sekaligus berdakwah tetapi seiring dengan perjalanan waktu lama kelamaan mereka menetap dan menikah dengan penduduk setempat (Raden Ahmad Nur Ali, tth,:7).

Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh Yahya bahwa Tarikh awal kedatangan Syed ‘Alawiyyah ke Kepulauan Melayu adalah sekitar abad ke-16, mereka datang melalui India. Tempat pertama yang mereka singgahi ialah Campa, setelah itu mereka berhijrah ke negeri Cina kemudian ke Sumatera dan seterusnya ke Semenanjung Tanah Melayu, Borneo dan Filipina. Kemudian setelah itu datang pula rombongan pendakwah Syed ‘Alawiyyah pada sekitar abad ke-17 atau awal abad ke-18. Mengenai kedatangan mereka ke Kepulauan Melayu didukung oleh beberapa faktor, diantaranya, faktor ekonomi, agama dan politik (Yahya, 1998:9).

Di Palembang perlakuan istimewa yang diberikan sultan tersebut erat kaitannya dengan kedudukan khusus orang Arab, yang dianggap lebih mempuni dalam masalah agama dan selain itu juga menurut van den Berg adalah karena mereka dianggap sebagai keturunan dan pewaris Nabi (Jeroen Peeters M, 1997:15). Menurut Mujib dalam Aryandini, bila diperhatikan secara seksama dari tinggalan-tingalan arkeologi yang berupa makam, baik itu makam para Sultan Palembang Darussalam maupun makam para bangsawan Kesultanan, selalu didampingi oleh makam ulama yang merupakan guru agama Sultan dan kerabat-kerabat Kesultanan (Aryandini Novita, 2006:37). Begitu pentingnya kedudukan orang Arab dalam proses islamisasi dan perdagangan di Palembang berdampak positif terhadap keberadaan orang-orang Arab di Palembang dan memungkinkan terjadinya asimilasi antara orang Arab dengan penduduk Melayu Palembang terjadi tanpa mengalami hambatan. Proses asimilasi yang berjalan begitu lama ini pada akhirnya telah menghasilkan kebudayaan khas.

Asimilasi merupakan proses sosial yang terjadi pada tingkat lanjut, yang ditandai dengan adanya upaya-upaya untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara perorangan atau kelompok-kelompok manusia. Usaha mengurangi perbedaan ini ditempuh untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama. Melalui proses ini orang-orang dan kelompok-kelompok memperoleh memori-memori, sentimensentimen, dan sikap-sikap orang-orang atau kelompok-kelompok lainnya, dengan berbagai pengalaman dan sejarah, tergabung dengan mereka dalam suatu kehidupan budaya yang sama (Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2006:159). Biasanya dalam proses peleburan ini terjadi pertukaran unsur-unsur kebudayaan, yang dapat terjadi bila suatu kelompok tertentu menyerap kebudayaan kelompok lainnya.

Terdapat beberapa tulisan yang mengkaji tentang asimilasi yaitu penelitian yang dilakukan oleh Abdullah Idi (2006) yang berjudul Asimilasi Cina dan Melayu di Bangka, menjelaskan bahwa asimilasi orang Cina dan Melayu terjadi dalam beberapa tingkatan asimilasi, yaitu kultural, struktural, perkawinan, identifikasi dan asimilasi prilaku tanpa prasangka dan diskriminasi. Faktor pendukungnya adalah ekonomi yang relatif berimbang secara etnis; struktur etnis Melayu sebagai etnis mayoritas dengan kepercayaan etnis yang tinggi dan terbuka; pemukiman penduduk yang menyebar secara etnis; sistem pendidikan yang demokratis; agama Islam sebagai agama mayoritas; dan sistem politik yang demokratis. Selain itu, penelitian ini menemukan tiga faktor kendala asimilasi, yaitu perubahan lingkungan ekonomi yang cenderung kurang berimbang secara etnis; perubahan pendidikan anak-anak kedua etnis; dan perubahan kehidupan beragama. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa proses asimilasi tejadi secara natural dan relatif sempurna (natural and full-assimilation).

Penelitian tentang orang Arab juga diteliti oleh Henny Yusalia (2015), Pola Adaptasi Masyarakat Keturunan Arab di Palembang (Studi Sosio-Historis Masyarakat Kampung Al-Munawwar Palembang) mengulas tentang adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat keturunan Arab Palembang khusus membahas kampung Al-Munawwar Palembang ditinjau dari pendekatan sosio-historis. Adapun kesimpulan penelitian ini adalah bahwa pola adaptasi yang dilakukan melalui enam aspek. Pertama, pembangunan rumah limas dan rumah batu. Kedua, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Ketiga, melalui pendekatan keagamaan. Keempat, melalui pendekatan politik. Kelima, menikahi perempuan lokal. Keenam, pembauran diri dengan mengikuti tradisi masyatakat setempat

Terdapat pula penelitian mengenai orang Arab di Palembang yang ditulis oleh Yunita Anggraini dan Nor Huda Ali (2006) dengan judul “Tradisi Pernikahan di Kampung Arab al-Munawwar Kelurahan 13 Ulu, Seberang Ulu II, Palembang”. Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa adanya beberapa tradisi khas Masyarakat Arab Palembang yang tetap dipertahankan. Salah satu tradisi itu adalah tradisi pernikahan. Dalam tradisi pernikahan masyarakat Arab di Palembang, ada beberapa tradisi yang tetap dipertahankan dari nenek moyangnya di Hadramaut, Yaman. Selain itu, tradisi pernikahan ini dikaitkan dengan tokoh yang “membuka” Kampung al-Munawwar. Karena itu, pernikahan ini dilangsungkan secara massal setahun sekali, yaitu pada bulan Rajab, salah satu bulan dalam kalender Hijriyah. Prosesi pernikahan ini berlangsung hampir tiga hari dengan beberapa tradisi yang telah disepakati bersama.

Berdasarkan pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai asimilasi kultural Arab Melayu di Palembang ditinjau dari berbagai aspek kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis asimilasi kultural masyarakat Arab-Melayu di Palembang dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asimilasi kultural masyarakat Arab-Melayu Palembang.

Pada penelitan ini lebih memfokuskan pada orang Arab yang telah berasimilasi dengan penduduk pribumi setempat dalam hal ini masyarakat Melayu Palembang. Adapun lokasi penelitian yaitu Kecamatan Seberang Ulu II, yaitu di Kelurahan 7, 12, 13, dan 14 Ulu. Posisi perkampungan Arab di 12 Ulu, 13 Ulu dan 14 Ulu letaknya saling berdekatan. Ketiga perkampungan ini terletak di tepi sungai Musi, seperti perkampungan Arab 12 Ulu yang dilewati oleh sungai Lumpur, perkampungan Arab 13 Ulu yang dilewati Sungai Ketemenggungan dan perkampungan Arab 14 Ulu yang dilewati oleh sungai Kapar.